Oleh: U Diar
Tragedi kemanusiaan Gaza membuka mata dunia bahwa kebiadaban manusia yang tak mengenal hak asasi manusia itu nyata adanya. Kebiadaban zalim begitu kuat karena bukan hanya dilakukan satu dua penjajah, tapi didukung oleh entitas skala negara beserta negara-negara lain yang menjadi sekutunya.
Tidak puas hanya menjatuhkan bom dan rudal, Gaza masih dibiarkan dalam kondisi kelaparan. Beberapa media mengabarkan ada skenario seolah-olah memberikan bantuan pangan, namun pada saat yang sama untuk mengambil bantuan tersebut nyawa yang dipertaruhkan. Mereka yang datang berharap mendapat bantuan, dihadang dengan tembakan mematikan.
Pertanyaannya, kenapa kejahatan ini tidak dihentikan? Kenapa negeri terdekat di sekitarnya tidak menolong? Salah satu jawabannya adalah karena adanya 'ashobiyah alias fanatisme golongan. Jika dulu fanatisme ini hanya sekadar mengunggulkan dan mengutamakan suku atau golongan semata dalam segala hal, maka sekarang fanatisme menjelma lebih besar. Fanatisme golongan berubah menjadi fanatisme skala global bernama nation state. Dampaknya lebih mengerikan.
Atas nama nation state, maka persoalan apapun yang dianggap bukan bagian dari state nya sendiri tidak begitu diperhitungkan, apalagi jika dipandang tidak merugikan bagi kepentingan mereka sendiri. Atas nama nation state pula saudara sesama muslim disaksikan menderita dalam pembantaian berkepanjangan, tanpa ada pertolongan nyata dan sungguh-sungguh yang bisa menghentikannya, seperti kasus genosida di Gaza.
Padahal Rasulullah bersabda yang artinya: "Bukan termasuk golongan kami yang menyeru kepada 'ashobiyah. Bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena 'ashobiyah. Bukan termasuk golongan kami orang yang mati di atas 'ashobiyah." (HR Abu Dawud). Lebih dari itu Rasulullah tegas memerintahkan untuk meninggalkan 'ashobiyah, "Tinggalkanlah 'ashobiyah itu karena sungguh 'ashobiyah itu bau busuk (menjijikkan)!" (HR Bukhari Muslim).
Kamuflase 'ashobiyah dalam bentuk nation state ini tidak serta merta membesar dengan sendirinya. Ini merupakan bagian dari grand design penjajah kafir yang tidak menginginkan kaum muslimin terus berada dalam satu persatuan utuh sedunia. Pada tahun 1916 penjajah secara rahasia bersepakat memecah kekuasaan Kekhilafahan Ustmaniyah saat itu menjadi negara-negara kecil yang terpisah-pisah batas imaginer melalui perjanjian Sykes-Picot.
Pemecahan ini sengaja dilakukan supaya kekhilafahan yang dibaca akan kalah pada perang dunia yang tengah berlangsung, kelak tidak akan berpotensi bersatu kembali menjadi negara adidaya sebagaimana ratusan tahun sebelumnya. Saat itu negara-negara penjajah memandang kekhilafahan menjadi penghalang atas ambisi mereka untuk melakukan imperialisme dan kolonialisme atas negeri-negeri kaya sumber daya yang dihuni kaum muslimin. Artinya penjajah tidak mau dihalangi motif ekonominya menguasai kekayaan alam yang sudah mereka incar.
Dampak jangka panjang perjanjian ini membuat kaum muslimin yang seharusnya menjadi ummatan wahidan terpecah-pecah oleh batas semu. Masing-masing ter-disintegrasi berdasarkan nation state nya sendiri-sendiri, disibukkan dengan dapur dalam negeri nya masing-masing, sehingga kepentingan dalam negeri menjadi sakral di atas segalanya. Mudah disulut perselisihan jika sudah berkaitan dengan batas-batas nation statenya.
Pada saat yang sama dikikis secara perlahan rasa persatuan sesama muslim yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain terutama dalam hal agama. Hingga atas nama menjaga stabilitas dalam negeri, kalau ada persoalan kaum muslim dizalimi di luar negerinya, dianggap cukup hanya sekedar bersimpati secara retorika semata.
Maka pada akhirnya 'ashobiyah yang sudah begitu mengakar kuat juga menghalangi kemanusian bagi Gaza. Bukan karena mereka ndak cukup kekuatan untuk membantu mengusir penjajah Gaza, tapi karena 'sanksi politik' jika berani melanggar kesepakan dunia pimpinan adikuasa penjajah yang diratifikasi masing-masing nation state.
Dan dari sini nampak hegemoni penjajah atas dunia Islam masih bisa dirasakan adanya.
Perjanjian Sykes-Picot tersebut berhasil menjadikan 'ashobiyah sebagai media memutilasi kesatuan negeri kaum muslimin. Memutuskan kekuatan fisik dan spiritual sekaligus, menjadi celah besar untuk masuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam yang tersebar di negeri-negeri kaum muslimin. Membuat Gaza berjuang sendiri menghadapi tragedi genosida.
Oleh sebab itu, kesadaran akan hal ini penting diketahui. Untuk selanjutnya memerdekan pikiran bahwa ketundukan pada skenario penjajah tidak membawa maslahat bagi umat. Justru untuk menyelamatkan umat, terutama Gaza yang dibutuhkan adalah peleburan nation state menjadi one state. Satu kesatuan seluruh muslim didunia di bawah komando Kholifah, yang nyata berkekuatan membebaskan bumi para Nabi sebagaimana di masa Umar bin Khattab ataupun Shalahuddin al Ayyubi. []






Tidak ada komentar:
Posting Komentar