Oleh: U Diar
Akhir bulan 4 lalu, dunia maya kembali heboh dengan berita vasektomi sebagai syarat mendapatkan bantuan sosial. Ide ini dikemukakan salah satu pejabat Jawa Barat, yang beranggapan bahwa vasektomi akan membantu mengurangi angka kemiskinan. Pasalnya berdasarkan temuan pejabat tersebut mayoritas penerima bantuan memiliki anak lebih dari dua.
Di dunia maya pula ramai tanggapan kontra yang disampaikan, termasuk di antaranya dari MUI. Dalam pandangan Islam, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari jalur Abdullah Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Kami dahulu berperang bersama Rasulullah SAW., sedangkan bersama kami tidak ada kaum perempuan (istri). Lalu kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami melakukan kebiri?' Kemudian Rasulullah SAW melarang kami dari perbuatan tersebut."
Ulama menyepakati bahwa aktivitas mencegah adanya kemampuan reproduksi secara permanen sehingga tidak bisa memiliki keturunan adalah haram. Maka dari situ, tidak dibenarkan adanya upaya yang berimbas pada terputusnya kemampuan untuk melestarikan jenis manusia dengan cara kebiri, vasektomi, ataukah tubektomi. Terlebih Rasulullah SAW pun menganjurkan menikahi orang subur dengan tujuan agar memiliki banyak anak.
Sehingga soal jumlah anak ini semestinya sama sekali tidak dikait-kaitkan dengan penyebab kemiskinan. Karena jika ditelaah lebih jauh, faktor penyebab yang utama dari kemiskiman masal bukan soal jumlah anak. Terlebih bagi muslim yang mengimani Alquran surat Hud ayat 6, surat Al Isra ayat 31 telah ditegaskan bahwa Allah lah yang Mahamencukupi setiap makhluk bernyawa, dan Allah tidak mengizinkan membunuh anak-anak karena takut miskin.
Oleh karena itu, akar kemiskinan haruslah dibuka supaya terlihat dari permukan, sehingga tidak mengkambing hitamkan anak banyak. Jika mau jujur, kemiskinan massal terjadi karena tidak meratanya kemampuan menikmati alam dan sumber daya di dalamnya yang disediakan oleh Allah. Hal ini terjadi karena ada aturan tidak adil, yang mengizinkan segelintir orang menguasai dan menikmatinya sampai lahap, namun disaat yang sama melarang orang lain sekadar untuk mencicipi.
Aturan ini membiarkan mereka yang 1% menguasai 99% sumber daya, sementara 1% sisanya harus diperebutkan oleh 99% sisa populasi. Dilihat dari kacamata apapun, ini jelas tidak adil. Dan inilah salah satu tabiat dari aturan bernama kapitalisme liberal tersebut. Aturan kapitalisme pada akhirnya membuat ketimpangan begitu nyata. Yang kaya semakin kaya, bebas menikah dan punya banyak anak. Yang miskin menikah saja disalahkan, bahkan punya anak saja disuruh membatasi.
Padahal akibat pola kepemilikan dan pengembang kekayaan ala kapitalisme, distribusi kekayaan menumpuk pada segelintir kalangan. Penumpukan ini pada akhirnya melambatkan laju perputaran roda perekonomian, karena apa-apa yang seharusnya dinikmati bersama untuk menggerakkan roda ekonomi, justru hanya bisa sebatas diimpikan oleh sebagian orang.
Penumpukan kekayaan ini juga menjadikan akses dunia pendidikan sulit dirasakan semua lapisan. Akibatnya skill dan pengetahuan tidak merata, kesempatan dan kemampuan berusaha tidak merata, income tidak bisa setara. Efeknya pendapatan sebagian orang sangat terbatas. Dan dalam skala luas, kondisi ini menciptakan penurunan daya beli.
Penurunan daya beli berimbas pada berkurangnya jumlah produksi di kemudian hari. Hingga usaha-usaha yang berbasis produksi pada akhirnya akan lesu, membutuhkan efisiensi, termasuk dalam pengurangan jumlah tenaga kerja. Akhirnya pengangguran tak dapat dielakkan, pendapatan hilang, kemiskinan kembali terwujud.
Lingkaran setan seperti ini akan sulit diputuskan selama frame solusinya tetaplah kapitalisme liberal. Pasalnya ide liberal yang dimainkan kapital tidak akan peduli dengan adab dan norma dalam mencaplok kekayaan alam atau apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan. Sehingga jika ingin menyudahi dan memutuskan mata rantai ini, haruslah berani beralih aturan.
Aturan yang dituju tidak boleh sesaudara dengan kapitalisme liberal. Artinya tidak boleh yang berasal dari buatan manusia. Aturan tersebut haruslah yang berasal dari Zat Yang Maha Segalanya di atas manusia, Allah SWT. Aturan Allah inilah yang dikenal dengan syariat Islam. Syariat Islam memiliki sistem ekonomi sendiri yang khas, yang isinya memanusiakan manusia tanpa ada keserakahan bebas menguasai di dalamnya.
Sistem ekonomi Islam secara menyeluruh pernah dipakai sejak Rasulullah di Madinah hingga tahun 1924 di Masa Akhir kekhalifahan Utsmaniyah. Sepanjang itu sejarah mencatat kesejahteraan bisa dirasakan semua orang. Sehingga jika syariat Islam dengan ekonomi Islam nya dijalankan maka tidak akan lagi ada pembatasan kelahiran yang dilarang hanya demi bantuan sosial. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar