Oleh: Ummu Fathan
Dikabarkan, Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi pada 2024 di antara enam negara ASEAN menurut Dana Moneter Internasional (IMF). Hal tersebut diungkapkan IMF dalam laporan World Economic Outlook April 2024. IMF mendata tingkat pengangguran (unemployment rate) berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan. [1]
Dari laman yang sama dituliskan bahwa Indonesia tercatat memiliki tingkat pengangguran mencapai 5,2 persen per April 2024. Bila dibandingkan tahun sebelumnya, angka pengangguran itu hanya turun 0,1 persen dari 5,3 persen pada 2023. Sementara seluruh penduduk Indonesia, terdiri dari angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja, diketahui sebanyak 279,96 juta orang.
Sementara itu, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai, perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencerminkan menurunnya laju produksi barang dan jasa di dalam negeri. Meskipun perekonomian masih tumbuh, laju pertumbuhannya lebih rendah dibanding periode sebelumnya. Kondisi ini erat kaitannya dengan menurunnya tingkat investasi serta berkurangnya pemanfaatan tenaga kerja. Penurunan investasi dari dampak penurunan peningkatan ekonomi juga diperkirakan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. IMF memproyeksikan tingkat pengangguran di Indonesia akan naik menjadi 5,0 persen pada tahun 2025 dan bertahan di level 5,1 persen hingga tahun 2028. [2]
Pada saat yang sama, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih membayangi berbagai sektor perusahaan di Indonesia. Semakin banyak perusahaan yang mengumumkan perampingan jumlah karyawan mereka. Meningkatnya jumlah PHK tentu menambah beban pelik pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengangguran yang masih mengakar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia naik sekitar 1,11 persen. Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) turut menyebut jika jumlah PHK 2025 juga meningkat dibandingkan tahun 2024. Kemnaker menjelaskan, tingginya gelombang PHK diakibatkan oleh banyaknya perusahaan yang mengalami kerugian karena kondisi pasar yang tidak pasti. [3]
Mata rantai pengangguran, pemutusan hubungan kerja, dan dampak ikutannya adalah lingkaran yang sulit diputus apabila dilihat dengan paradigma politik yang sama dengan penyebabnya, yaitu kapitalistik. Paling tidak, sistem ekonomi kapitalisme ini menunjukkan kepada kita bahwa pengadaan kesempatan kerja yang layak dan merata bagi seluruh masyarakat sulit direalisasikan. Pasalnya, politik kebijakan dalam pandangan kapitalisme diberikan kesempatan untuk memberikan legalisasi bagi swasta untuk menguasai sejumlah aset vital yang dibutuhkan banyak orang. SDA yang seharusnya diamanatkan undang-undang untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat menjadi berbelok pemanfaatan.
Jika SDA di tangan swasta, maka fokus pengelolaannya bukan murni untuk kemakmuran, melainkan ada aroma mencari keuntungan untuk eksistensi kapital. Akibatnya apa yang dipandang mampu menyelamatkan perusahan, yakni mendapatkan keuntungan tetap, pasti akan dilakukan. Termasuk melakukan efisiensi dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja. Maka masyarakat yang menjadi bagian dari pekerja swasta sangat rawan dengan ancaman kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu.
Perusahaan swasta pengelola SDA juga memiliki kewenangan untuk melakukan kualifikasi pekerjanya, maka mereka berhak pula merekrut tenaga asing. Sehingga persaingan antara pencari kerja lokal dan asing pun tak dapat dihindarkan. Jika tidak ada proteksi bagi pencari kerja lokal, maka sulit untuk melawan tenaga asing, sebab secara hubungan kedekatan bisa jadi mereka senegara dengan investor terbesar. Dari sisi pendidikan ataupun ketrampilan, lulusan luar negeri biasanya lebih dilirik dan diminati, karena pendidikan di luar banyak yang memang berorientasi pada skill kreatif dan inovatif, bukan sebatas kognitif semata.
Lebih dari itu, ekonomi kapitalisme juga menginginkan perputaran uang yang didapat perusahaan dapat dilipatgandakan dengan cepat. Maka tidak sedikit dari perusahaan yang kemudian turut masuk ke dalam sektor ekonomi nonriil seperti bursa efek dan sejenisnya. Dalam ekonomi nonriil ini, uang bisa diputar dengan tenaga ahli yang jumlahnya sedikit. Artinya sektor nonriil tidak dapat membuka lapangan kerja seluas sektor riil. Jadi wajar jika kesempatan mencari kerja semakin langka, pengangguran mengancam di depan mata.
Padahal, dalam pandangan Islam, setiap laki-laki dewasa dan mampu dilekatkan dengan kewajiban bekerja. Mereka memiliki pahala besar dengan tanggung jawab menghidupi dirinya dan keluarganya. Maka untuk memudahkan tertunaikannya sebuah kewajiban seperti ini, negara hadir untuk membantu memudahkan setiap masyarakatnya.
Negara berasas Islam, melalui politik ekonominya akan melakukan sejumlah pengaturan yang dapat menjamin perekonomian merata di tengah masyarakat, bahkan kesejahteraan bisa dinikmati setiap kepala. Langkah pertama yang dilakukan adalah memberikan batas tegas mengenai kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Masing-masing kepemilikan ada hak dan kewajiban yang tidak boleh dilanggar. Terutama pada kepemilikan umum, maka sama sekali tidak dapat diberikan kepada swasta lokal ataupun asing, individu ataupun kelompok. Islam menilai kepemilikan umum yang mencakup SDA dll, untuk dikelola negara dan dimanfaatkan hasilnya bagi kepentingan masyarakat.
Dengan pengelolaan seluruh kepemilikan umum secara langsung oleh negara, maka akan banyak tenaga lokal yang dilibatkan. Akan banyak kesempatan kerja bagi masyarakat tercipta secara nyata, sehingga angka pengangguran bisa ditekan. Pengelolaan oleh negara dalam pandangan Islam ditekankan untuk tujuan pelayanan publik, sehingga tidak berorientasi bisnis dan keuntungan. Maka, hasil akhirnya dapat dikonsumsi oleh masyarakat dengan gratis atau berbayar tapi murah.
Politik ekonomi Islam akan melakukan penghentian total pada pergerakan ekonomi nonriil berbasis ribawi. Artinya sesuatu yang diharamkan dapat dihindari dari siklus ekonomi dan sekaligus dapat dicegah perputaran kekayaan hanya pada sekelompok pemain sektor nonriil saja. Islam juga akan memperhatikan mengenai mekanisme distribusi kekayaan, tidak akan dibiarkan 1% orang menguasai 99% kekayaan secara manipulatif. Sebab hal ini jelas dilarang dalam Alquran (QS. AlHasyr: 7).
Jika kekayaan dapat dirasakan secara merata, maka kemampuan daya beli masyarakat akan relatif berkesinambungan, permintaan akan barang relatif stabil, dan perusahaan akan terus mampu berproduksi, sehingga tidak perlu ada efesiensi tenaga kerja. Secuil gambaran Politik Ekonomi Islam ini menunjukkan bagaimana pengangguran dapat disolusi secara sistemis. Jikalau seluruh politik disemua bidang memakai Islam, maka iklim kehidupan akan lebih kondusif termasuk iklim usaha dll. Inilah yang bisa mengantarkan pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Bukankah sistem seperti ini yang perlu dihadirkan kembali? Allahu a'lam []
Referensi:
1. https://www.kompas.com/tren/read/2024/07/23/103000165/tingkat-pengangguran-indonesia-nomor-1-di-asean?page=all
2. https://www.tempo.co/ekonomi/dampak-pertumbuhan-ekonomi-yang-melambat-1364459
3. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/05/12/angka-phk-dan-pengangguran-meningkat-bagaimana-solusi-untuk-mengatasinya
Sumber gambar: Pngtree
Tidak ada komentar:
Posting Komentar