Oleh : Ani Yunita (Pemerhati Generasi)
Jutaan orang di negeri ini hidup tanpa kepastian akan tempat berlindung yang layak. Rumah bukanlah tempat nyaman untuk beristirahat, melainkan bangunan rapuh yang setiap hari mengancam rasa aman dan martabat. Karena rumah adalah pondasi utama dalam menjalani kehidupan, tempat tumbuhnya kasih sayang, tumpuan harapan, dan awal dari kehidupan yang lebih baik. Namun realita kemiskinan ekstrem terus menjauhkan mereka dari hak paling dasar ini yaitu tempat tinggal yang manusiawi.
Direktorat Jenderal Tata Kelola dan Pengendalian Risiko Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, Azis Andriansyah, mengungkapkan bahwa sekitar 26,9 juta rumah di Indonesia tergolong tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah menetapkan target membangun 3 juta unit rumah dalam waktu satu tahun melalui program bedah rumah. Program ini akan melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta. (BeritaSatu.com 06/05/25).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2025, mencatat bahwa kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah atau backlog perumahan meningkat menjadi 15 juta unit. Angka ini menunjukkan jumlah keluarga baru yang belum memiliki hunian yang layak. Informasi ini disampaikan oleh Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, dilansir dari Okezone.com.
Akibat kemiskinan ekstrem, banyak masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal. Sedangkan kebutuhan papan merupakan hal yang mendesak dan tak bisa diabaikan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan hunian yang layak, aman, nyaman, dan terjangkau bagi setiap warga negara. Status meningkatnya angka backlog perumahan menjadi indikator kuat bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis di sektor perumahan saat ini.
Di sisi lain, krisis ini diperparah oleh tingginya harga rumah dan tanah yang tidak masuk akal, sehingga menyulitkan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memilikinya, terutama mereka yang baru menikah atau membangun keluarga. Selain itu, program KPR yang ada pun tidak mampu memberikan solusi karena suku bunganya yang tinggi dan tidak stabil justru menambah beban.
Sementara itu, di tengah kondisi ekonomi yang lesu, pendapatan masyarakat cenderung stagnan dan tidak pasti. Parahnya lagi, pendapatan tersebut masih harus dipotong untuk berbagai kewajiban seperti BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, PPh, dan PPn. Wajar saja jika banyak kepala keluarga berpikir ulang sebelum memutuskan membeli rumah atau mengambil KPR.
Sebaliknya, pihak korporasi, khususnya perusahaan properti, justru mengambil alih kendali pasar dan meraup keuntungan sebesar-besarnya dari setiap transaksi penjualan. Akibatnya, harga properti terus melonjak dan menjadi semakin tidak terjangkau untuk masyarakat.
Adapun solusi yang diberikan pemerintah dengan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tak mampu menarik minat masyarakat secara luas. Pasalnya, iuran Tapera yang langsung memotong penghasilan tidak otomatis menjamin masyarakat bisa memiliki rumah impian mereka. Bahkan, bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, pilihan yang tersedia sering kali hanya rumah subsidi dengan spesifikasi yang minim, lokasi yang jauh dari pusat aktivitas, serta berbagai kekurangan lainnya. Oleh karena itu, situasi ini menimbulkan dilema besar bagi keluarga yang belum memiliki tempat tinggal.
Tak mengherankan jika dalam sistem Kapitalisme, negara masih menempatkan pertimbangan untung dan rugi sebagai prioritas utama. Sebab, orientasi kebijakan yang diambil bukanlah demi kemaslahatan rakyat, melainkan demi kepentingan segelintir pihak. Akibatnya, kebutuhan dasar seperti tempat tinggal pun belum mampu diselesaikan dengan optimal. Jika demikian, bagaimana mungkin masalah kemiskinan ekstrem dapat diatasi? Di lapangan, kondisi semakin memprihatinkan. Banyak pekerja terkena PHK, lapangan kerja semakin terbatas, dan pendapatan masyarakat sangat minim. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun sulit, apalagi membeli rumah yang harganya semakin melambung tinggi.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya menyelesaikan persoalan ini dari akar masalahnya secara bersama-sama. Namun, karena paradigma kapitalistik telah mengakar kuat, solusi yang muncul justru hanya bersifat tambal sulam. Alhasil, rakyat kembali menjadi pihak yang paling dirugikan, dan angka kemiskinan pun terus meningkat secara sistematis.
Sebaliknya, menurut pandangan Islam, rumah merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Jika individu tidak mampu mewujudkan kepemilikan rumah secara mandiri, maka negara berkewajiban hadir dan menyediakan solusi. Sebab, negara dalam Islam berperan untuk memenuhi kebutuhan warganya, baik melalui penyediaan rumah layak huni, alternatif jenis hunian lain, maupun tanah yang dijual dengan harga murah dan terjangkau. Lebih dari itu, Islam melarang praktik-praktik seperti riba, denda, atau akad yang batil dalam urusan kepemilikan rumah. Karena itu, seluruh kebijakan perumahan harus didasarkan pada hukum Islam sebagai landasan utamanya.
Oleh sebab itu, negara memiliki tanggung jawab untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, agar setiap kepala keluarga dapat menafkahi keluarganya dengan layak. Dengan demikian, jika sistem negara dikelola sesuai syariat Islam, maka kemiskinan ekstrem bukan hanya dapat dikurangi, tetapi benar-benar bisa dihapuskan.
Sejatinya, penting untuk dipahami bahwa negara sejatinya adalah pelayan dan pelindung bagi rakyatnya. Namun, dalam sistem kapitalisme, peran ini justru bergeser, negara tidak lagi melindungi rakyat, melainkan melayani kepentingan para kapitalis.
Dengan demikian kekuasaan oligarki kian menguat dan mencengkeram negeri ini. Karena itulah, masyarakat perlu semakin sadar bahwa sistem kapitalisme tidak membawa kebaikan, melainkan mendorong negeri menuju kehancuran. Sebaliknya, hanya sistem Islam lah yang mampu menyelamatkan bangsa ini dan membawanya menuju keberkahan serta rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu A’lam Bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar