Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Lemahnya Peradilan dalam Sistem Demokrasi

Kamis, 15 Mei 2025



Oleh : Ummu Rifat (Pemerhati Generasi)

Darurat keadilan saat ini gambaran buruknya sistem hukum di Indonesia, hal ini menggambarkan bahwa institusi peradilan dan hukum di negeri ini telah lemah dan sudah seharusnya dikoreksi. Dalam sebuah media disebutkan bahwa selama kurun waktu 13 tahun, sejak 2011 hingga 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Para hakim diduga menerima suap yang nilainya mencapai hampir Rp108 miliar untuk mengatur hasil putusan. Kasus yang sempat viral beberapa hari yang lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengadili empat hakim yang diduga menerima suap Rp60 miliar, sehingga vonis bebas bagi tiga korporasi besar di sektor kelapa sawit berjalan mulus. ICW menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan adanya ‘mafia peradilan’ yang makin besar. (Kompas, 20/04/2025).

Adanya kasus-kasus tersebut jelas merendahkan integritas, kredibilitas dan keagungan lembaga peradilan. Miris masyarakat seharusnya bisa mendapatkan keadilan pada lembaga ini, justru menjadi tempat pengkhianatan, sarang mafia melakukan jual-beli keadilan. Ada yang salah dalam sistem peradilan di negara ini, sehingga diperlukan perbaikan sistemik. Indonesia saat ini menganut sistem Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme, yakni pemisahkan agama dari kehidupan, konsekuensinya agama harus diletakan di ranah privat saja dan tidak boleh hadir dalam mengatur dan mengurus kehidupan. Sehingga dalam penegakan aturan tidak melihat halal dan haram. Standar yang berlaku adalah selama menguntungkan dan bermanfaat maka tidak masalah, agama tidak perlu hadir. Sebagai negara yang menerapkan Kapitalis dan sistem pemerintahan Demokrasi dengan konsep trias politikanya, maka sebagaimana gagasan Montesquieu kekuasaan harus dibagi menjadi 3 yaitu eksekutif. legislatif dan yudikatif. Tujuan dari pembagian kekuasaan ini adalah untuk mencegah terjadinya praktek-praktek abuse of power (penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan) jika kekuasaan hanya dipegang oleh satu orang atau lembaga.

Penerapan sistem Demokrasi dan trias politika di Indonesia yang dianggap sebagai sistem terbaik saat ini nyatanya justru membawa pada kerusakan yang tidak ada ujungnya. Salah satunya adalah suap dan korupsi yang sudah menjadi “budaya”. Fakta mencatat bahwa suap dan korupsi justru tumbuh subur di semua lembaga negara baik eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Meski sudah banyak oknum yang ditangkap dan diadili, namun tidak sedikit yang bebas dari hukum. Semua ini membuktikan bahwa kapitalisme Demokrasi dan trias politikanya adalah sistem rusak yang layak dibuang, sehingga berharap penegakan hukum dan keadilan dalam sistem ini hanya harapan semu. 
Sedangkan dalam Islam, hukum syariah menjadi landasan hukum negara. Semua memiliki kedudukan yangsama di hadapan hukum syariah, baik rakyat maupun penguasa. Dalam kitab Ajhizah, dijelaskan bahwa peradilan dalam Islam bertugas menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak jama’ah dan menyelesaikan perselisihan antara masyarakat dengan penguasa. Peradilan dipimpin oleh seorang Qadhi (hakim). Sumber hukum yang digunakan berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Seingga para hakim memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan dalil-dalil syariah, yang mewujudkan masyarakatyang hidup adil. Peradilan Islam tdak mengenal peradilan bertingkat atau peradilan banding. Hal itu akan lebih memberikan kepastian hukum. Putusan seorang hakim berlaku saat itu juga dan tidak bisa dianulir oleh hakim lainnya. Artinya, jika suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakim berdasarkan ijtihadnya, keputusan yang pertama tidak bisa diganti dengan hasil ijtihad yang baru. Hakim yang menjabat berikutnya juga tidak boleh membatalkan atau menganulir keputusan tersebut. Demikianlah peradilan Islam yang menutup rapat adanya tumpul keatas runcing kebawah. Pejabat atau penguasa yang punya uang untuk memuluskan perkaranya di peradilan tidak akan berlku lagi. Itulah buruknya demokrasi yang hanya ingin mngmbil untung saja tanpa melihat kebenaran sesungguhnya. Maka sudah selayaknya kita meninggalkan peradilan dalam sistem demokrasi ini dan diganti dengan sitem islam yang mampu memberikan keadilan bagi seluruh umat. Wallahua’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar